Indonesia selain mempunyai kekayaan alam yang melimpah, juga mempunyai potensi bencana alam yang besar, seperti banjir, gunung meletus, gempa, dan tsunami. Bencana alam tersebut sejatinya bukan kutukan, melainkan terjadi karena proses natural dinamika bumi itu sendiri atau eksploitasi alam yang tanpa batas. Hal inilah yang perlu dipahamkan kepada masyarakat, artinya masyarakat perlu mendapatkan literasi kebencanaan yang tepat.
Pada sisi lain, hasil survey Central Connecticut State University, tingkat literasi Indonesia menempati urutan ke 60 di dunia. Sebagai pembanding dengan tingkat literasi negara-negara di Asia Tenggara dapat digambarkan dalam grafik berikut.
Dari data di atas, Indonesia mempunyai tingkat literasi yang rendah dibandingkan beberapa negara-negara di Asia Tenggara seperti Singapura, Malaysia dan Thailand. Menjadi sangat ironis setelah melihat hasil survey Perpustakaan Nasional tahun 2020 bahwa Indonesia adalah negara peringkat kedua yang memiliki perpustakaan terbanyak di dunia. Dengan tingkat literasi yang belum tinggi, dari mana upaya untuk literasi kebencanaan harus dimulai?
Kearifan Lokal dalam Penanganan Kebencanaan di Indonesia
Terjadinya bencana alam karena eksploitasi alam yang berlebihan menjadi penanda bahwa pemanfaatan sumberdaya alam perlu dikendalikan. Terkait hal ini, Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup perlu dilaksanakan dengan asas “kearifan lokal”, harus memperhatikan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat. Indonesia mempunyai kekayaan budaya dan beragam suku bangsa yang kerap diujarkan sebagai kearifan lokal. Kearifan lokal ini bisa ditemui di banyak daerah yang secara unik menampilkan ragam kearifan lokal kekayaan bangsa Indonesia.
Tingginya potensi musibah ini mendesak nenek moyang kita dahulu belajar melalui metode pengalaman langsung ataupun mitigasi kebencanaan. Metode tersebut dalam wujud budaya yang menjadi sampai sekarang menjadi kearifan lokal dan dipelihara oleh masyarakat lokal. Dahulu, negara kita populer dengan jargon gemah ripah loh jinawi, negeri yang sejahtera, makmur, serta sentosa. Sepatutnya pula ditanamkan pemahaman bahwa negara kita adalah negara seribu musibah sehingga diharapkan timbul kewaspadaan semenjak dini. Hal ini sebagai bentuk literasi bencana di wilayah rawan bencana.
Dari sudut pandang kearifan lokal, berbagai peristiwa bencana alam yang dihadapi masyarakat akan membentuk kebiasaan baik sebelum maupun saat terjadi bencana. Kebiasaan ini menjadi budaya yang tidak ditinggalkan serta akan menjadi pengingat atau pelajaran saat menghadapi bencana. Kebiasaan tersebut sejatinya merupakan bentuk adaptasi secara verbal maupun nonverbal.
Biasanya kebiasaan atau habit pada saat bencana merupakan simbol yang memiliki manfaat. Kebiasaan yang turun-temurun ini menjadi kearifan lokal yang kadang-kadang hanya berlaku pada satu wilayah tertentu. Namun bisa jadi ada di wilayah lain juga dengan bentuk yang berbeda-beda. Informasi akan bertransformasi menjadi pengetahuan dengan cepat serta penyebarannya akan menjadi keuntungan dan keunggulan manfaat kearifan lokal bagi masyarakat, walaupun kita tidak memungkiri bahwa kelemahan masyarakat Indonesia adalah kurang terbiasa mendokumentasikan pengetahuan mereka.
Di sisi lain, pesatnya teknologi di era industri 4.0 memunculkan peluang strategis bagi pengembangan pengelolaan dalam penanggulangan bencana melalui langkah-langkah struktural maupun non struktural. Gagasan pemanfaatan teknologi ini dipercaya dapat menyelesaikan beragam permasalahan yang selama ini dialami sebagai upaya pengelolaan terhadap penanggulangan bencana. Revolusi industri 4.0 yang berbasis teknologi informasi dan digital telah mampu mendukung kecepatan, kemudahan, kepraktisan, dan efektivitas dengan biaya rendah, tetapi daya jangkaunya sangat luas. Pertanyaan yang muncul, apakah kita sudah memanfaatkan teknologi itu untuk meningkatkan literasi kebencanaan masyarakat di wilayah-wilayah rawan bencana?
Dengan latar belakang di atas, saya mencatat tiga permasalahan.
Pertama, kearifan lokal belum terdokumentasikan secara masif sebagai sumber pengetahuan dan informasi bagi masyarakat, khususnya kepada generasi muda bangsa. Padahal, di zaman modern seperti saat ini, mereka rentan dengan ketidaktahuan dan ketidakpedulian mengenai pelestarian kearifan lokal. Dapat dibayangkan dampak bagi masyarakat apabila nilai-nilai kearifan lokal terkait kebencanaan kurang dimaknai dengan baik.
Kedua, paradigma berpikir konvensional bahwa bencana adalah takdir masih kuat dan mengakar di tengah masyarakat. Masih banyak orang yang beranggapan bahwa bencana merupakan kutukan atas dosa dan kekhilafan sehingga seseorang harus percaya bahwa bencana adalah takdir atas perbuatannya. Akibatnya, tidak ada lagi usaha untuk mengambil langkah‐langkah pencegahan atau penanggulangannya.
Ketiga, kemajuan di era industri 4.0 belum sepenuhnya menjadi faktor pendorong untuk mewujudkan literasi kebencanaan di kalangan generasi muda bangsa. Jika ditelusuri, teknologi maju yang sudah sedemikian dekat dengan keseharian kita, belum banyak membuka ruang-ruang kosong bagi pengembangan literasi kebencanaan di Indonesia.
Tiga permasalahan di atas mengerucut pada satu pertanyaan besar, yaitu “Bagaimana langkah yang tepat dalam membangun literasi kebencanaan tersebut?”. Untuk menjawabnya, mari kita lihat peran tiga stakeholder terkait, yaitu pustakawan sebagai pihak yang dekat dengan literasi, pemerintah sebagai representasi negara, dan masyarakat sebagai pelaku.
Peran Pustakawan
Pola pikir penanggulangan bencana saat ini sudah bergeser dari pola pikir bantuan darurat langsung menuju pola pikir mitigasi/preventif. Di samping usaha-usaha pencegahan dan mitigasi bencana yang telah dikembangkan, program rehabilitasi dan rekonstruksi perlu diimplementasikan penerapannya ke dalam sasaran-sasaran pembangunan wilayah antar sektor.
Pengurangan risiko bencana sendiri merupakan bagian rencana pembangunan terpadu lintas sektor dan lintas daerah yang meliputi aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Dalam hal ini, masyarakat berperan sebagai subyek dan obyek sekaligus sasaran utamanya. Pengurangan risiko bencana mengadopsi dan memperhatikan kearifan lokal (local wisdom) dan pengetahuan tradisional (traditional knowledge) yang ada dan berkembang di tengah masyarakat. Sebagai subyek, masyarakat diharapkan dapat aktif mengakses saluran informasi formal dan nonformal. Di sisi lain, Pemerintah bertugas mempersiapkan sarana, prasarana, dan sumber daya yang memadai untuk pelaksanaan kegiatan tersebut.
Keberadaan pustakawan merupakan salah faktor pendorong literasi masyarakat Indonesia saat ini. Keterlibatan pustakawan sebagai penggiat literasi di Indonesia bersama-sama pemerintah penting untuk mendorong tumbuhnya kegemaran membaca di masyarakat terutama yang potensi bencana wilayahnya tinggi. Potensi kebutuhan pustakawan untuk saat ini juga masih besar, setidaknya ratio ketercukupan pustakawan saat ini satu pustakawan melayani 21.035 penduduk, data ini masih jauh dari ideal, menurut data dari IFLA rasio ketercukupan tenaga perpustakaan adalah 1 : 2.500. Dalam hal ini tidak cukup hanya kuantitas kebutuhan pustakawannya saja, di era dengan tantangan menghadapi revolusi Industri 4.0, pustakawan jaman now perlu memiliki kreativitas dan inovasi, serta memiliki kecakapan berkolaborasi dan memecahkan masalah.
Paling tidak, ada tiga peran pustakawan dalam upaya penanggulangan bencana di era industri 4.0, yaitu sebagai kontributor dalam perencanaan pencegahan bencana, merespon bencana serta melakukan recovery bencana. Perpustakaan dan pustakawan harus bisa menjadi pionir dalam proyek penggalian kearifan lokal untuk mengembangkan literasi masyarakat terkait mitigasi bencana. Para pustakawan memiliki potensi tersebut dengan memanfaatkan koleksi dan arsip di Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah. Selain itu, pustakawan juga memiliki literasi informasi yang tinggi karena mampu mengakses informasi secara cepat dan memahami sumber informasi yang paling dibutuhkan. Sedemikian penting itulah kehadiran sosok pustakawan dan perpustakaan dalam kontribusinya membangun literasi kebencanaan.
Pustakawan diharapkan mampu membangun kembali pengetahuan yang telah tersapu oleh bencana serta membangun kembali komunitas masyarakat setelah terjadinya bencana, antara lain melalui media dongeng atau cerita. Pustakawan, baik di daerah maupun di pusat, memiliki peran untuk menggali kearifan lokal yang ada di tempat menjalankan tugasnya. Kearifan lokal bagi pustakawan adalah pengetahuan yang tersembunyi dan harus didokumentasikan agar lestari. Kearifan lokal yang berhasil digali tentu tidak hanya tersimpan di perpustakaan saja namun, pustakawan juga memiliki keahlian bukan hanya untuk menemukan atau mengumpulkan pengetahuan saja dengan demikian diharapkan mampu mengemas ulang kearifan lokal yang ada dengan memanfaatkan teknologi yang sudah berkembang di era industri 4.0.
Industri 4.0 memiliki karakter disruptif, cepat, masif, serba efisien, tetapi sedapat mungkin berbiaya rendah. Pencegahan bencana di era industri 4.0 lebih dapat diarahkan kepada peningkatan pengetahuan untuk mencegah bencana dengan sarana media sosial yang berbiaya rendah. Teknologi dan kecerdasan buatan dimanfaatkan sebagai alat bantu utama dalam menghadapi bencana. Harapan kita, saat bencana itu datang, old knowledge (pengetahuan lama) yang terbentuk dan telah diakui sebagai kearifan lokal oleh generasi penerus bangsa. dapat menghindarkan masyarakat dari kerugian dan korban jiwa sekecil-kecilnya (zero victim).
Peran Pemerintah
Pemerintah sebagai representasi negara harus ada di tengah masyarakat. Nah, beberapa peran yang bisa dijalankan oleh pemerintah antara lain :
- Menyusun dan Mengimplementasikan Kurikulum Pendidikan yang Ramah Bencana
Kearifan atau wisdom dapat dipahami sebagai suatu pemahaman kolektif, pengetahuan, dan kebijaksanaan yang mempengaruhi suatu keputusan penyelesaian atau penanggulangan masalah kebencanaan. Melalui kegiatan literasi kebencanaan yang berbasis kearifan lokal, masyarakat diajak untuk mengenal dan memahami fungsi kearifan tersebut dalam aspek mitigasi bencana di lingkungan mereka. Adaptasi pengetahuan lokal, termasuk reinterpretasi nilai-nilai kearifan lokal dan revitalisasinya perlu dilakukan sesuai dengan kondisi masyarakat, sedemikian rupa sehingga dapat diterapkan sebagai kurikulum pendidikan yang ramah bencana.
Pemerintah perlu melakukan pengarusutamaan isu kebencanaan mulai dari tingkat taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi melalui penyediaan materi kebencanaan dan implementasi kurikulum kebencanaan. Pengetahuan dan informasi mengenai bencana dan kearifan lokal menjadi bagian materi pembelajaran, baik di sekolah formal maupun nonformal.
- Menggiatkan Momentum Hari Kesiapsiagaan Bencana
Pemerintah melalui kelembagaan yang ada berperan sebagai pendorong utama berkembangnya literasi kebencanaan bagi semua kalangan masyarakat, terutama para generasi muda yang belum banyak mengenal kearifan lokal warisan nenek moyang. Salah satu yang dilakukan pemerintah adalah menetapkan Hari Kesiapsiagaan Bencana (HKB) yang diperingati setiap tanggal 26 April. HKB merupakan momentum penting untuk menggiatkan semua upaya peningkatan literasi kebencanaan, terutama mitigasi bencana. Dengan adanya HKB, masyarakat akan terus diingatkan mengenai kemudahan akses informasi. Dengan demikian, masyarakat bisa terus menggali nilai-nilai kearifan lokal terkait risiko bencana sesuai dengan kondisi daerah masing-masing.
- Memanfaatkan Media Massa
Interpretasi bencana dapat dikembangkan dengan memanfaatkan media massa yang sesuai. Selama ini, liputan berbagai program mengenai bencana telah dilakukan oleh banyak media massa. Pengetahuan dan informasi bencana juga dapat diinterpretasi melalui ajang kompetisi yang dihadirkan oleh media. Masyarakat bisa menjadikan kegiatan-kegiatan seperti ini sebagai pengayaan dan dokumentasi pengetahuan dan informasi mengenai kebencanaan dan kearifan lokal.
Peran Masyarakat
Masyarakat merupakan subyek, obyek, sekaligus sasaran kegiatan literasi dalam rangka pengurangan risiko bencana. Artinya, kita pun harus berperan dalam kegiatan ini, antara lain dengan cara :
- Menjaga Kearifan Lokal sebagai Aspek Budaya Leluhur Bangsa
Menjaga kearifan lokal sebagai aspek budaya leluhur bangsa adalah menjadi tugas kita bersama dengan segenap pihak yang memiliki kewenangan dalam melestarikan. Kearifan-kearifan lokal yang telah menjadi cara hidup masyarakat dan berhubungan secara spesifik dengan budaya tertentu harus terus dijaga kelestariannya. Kearifan lokal tercermin dalam nilai-nilai kelompok masyarakat, seperti nyanyian, pepatah, tarian, semboyan, dan nasihat leluhur untuk selalu berbuat baik kepada alam.
- Meningkatkan Pemahaman dan Interpretasi Bencana
Pemahaman dan interpretasi yang baik mengenai bencana akan memberikan pengaruh positif bagi kehidupan bersama. Kehadiran berbagai interpretasi yang cenderung miskin makna dan hanya merujuk pada beberapa hal yang tidak konstruktif, terkadang mengarah pada sesuatu yang fatalistik. Untuk itu pandangan dan pemahaman masyarakat perlu ditingkatkan dengan memanfaatkan media yang tepat.
- Memanfaatkan Kehadiran Media Sosial
Pesatnya perkembangan teknologi di era industri 4.0. telah menghadirkan banyak platform penyedia informasi dan pengetahuan kearifan lokal berbasis sosial media. Hal ini akan memudahkan masyarakat dalam mengakses aktivitas literasi kebencanaan berbasis media sosial, baik melalui YouTube, Instagram, Twitter, atau media daring lainnya. Melalui media-media ini, kearifan lokal bisa dikenalkan sejak dini kepada generasi milenial. Kita pun tak perlu mengkhawatirkan hilangnya nilai-nilai kearifan lokal di tengah kehidupan masyarakat yang lebih menyukai hal-hal instan.
Kearifan lokal sebagai cerminan cara hidup suatu masyarakat biasanya diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi melalui cerita dari mulut ke mulut. Wujudnya dapat berupa cerita rakyat, peribahasa, lagu, nasihat, atau permainan rakyat. Upaya-upaya pelestarian lintas sektor perlu dilakukan agar kearifan lokal tetap terjaga dan mampu meminimalisir korban bencana.
Penguatan kesiapsiagaan bencana menjadi aspek yang diperlukan saat ini dan masa depan. Bencana merupakan peristiwa yang sulit untuk diprediksi kedatangannya. Pengelolaan kesiapsiagaan yang hanya berbasis pada pendekatan pascabencana tidaklah cukup jika tidak diimbangi dengan pembangunan literasi kebencanaan berbasis kearifan lokal.
Pembangunan literasi kebencanaan berbasis kearifan lokal di berbagai wilayah harus mulai dipikirkan pengelolaannya. Kegiatan literasi pengetahuan dan informasi kebencanaan dapat dihadirkan melalui pemanfaatan media sosial dan teknologi informasi yang saat ini berkembang pesat. Masyarakat akan lebih mudah memahami bencana yang sering terjadi di wilayahnya ketika informasinya disebarluaskan dalam bentuk gambar (infografis) maupun video.
Aktivitas literasi kebencanaan yang memasukkan aspek kearifan lokal semakin diperlukan sebagai bekal untuk generasi muda. Kajian tentang aktivitas tersebut bisa menjadi tantangan baru studi kebencanaan, khususnya menyangkut pengukuran tingkat pemahaman dan daya kritis masyarakat terhadap bencana serta peningkatan kapasitas masyarakat terkait kebencanaan.
Referensi
- Wahyu Chandra, 2021. “Pentingnya Literasi Kebencanaan di Negeri Rawan Bencana”. Mongabay, 16 Maret 2021.
- Zein Mufarrih Muktaf, 2017. “Studi Literasi Bencana dalam Perspektif Ilmu Komunikasi”. Konferensi APIK PTM di Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Ponorogo.
- Anonim, 2021. “Literasi Kebencanaan Sebagai Dasar Mitigasi Bencana”. republika.co.id, 27 April 2021, Redaksi Karta Raharja Ucu.
- Wisnu Martha Adiputra, 2008. “Literasi Media dan Interpretasi atas Bencana”. Jurnal Ilmu Sosial dan ilmu Politik, Volume 11 No. 3
- Dahash et al, 2017 di dalam Yuhdi Fahrimal dkk, 2019,. “Revolusi Industri 4.0 Dalam Penguatan Kesiapsiagaan Bencana Di Indonesia”. Communication, Vol. 10 No. 2, Oktober 2019.
- Anonim, 2007. “Pengenalan Karakteristik Bencana dan Upaya Mitigasinya di Indonesia”. Direktorat Mitigasi, Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana.
- Muhammad Ansyari Tantawi Nasution, 2021. “Mengawal Kearifan Lokal untuk Literasi Bencana di Industri 4.0”. LinkedIn, dipublish pada 2 Juni 2021.
- Anonim, 2017. “Tahun 2023 Desa Pajam Menjadi Desa Mandiri Pangan Berbasis Kearifan Lokal”. The GEF Small Grants Programs Indonesia.
- Meri Herlina, 2019. “Kearifan Lokal Untuk Mitigasi Bencana Pada Masyarakat Rawan Bencana Gempa, Tsunami, Longsor, Banjir Di Kabupaten Pesisir Barat Provinsi Lampung”. Program Studi Pendidikan Geografi Pascasarjana Universitas Negeri Semarang
- Setio Galih Marlyono, dkk, 2016. “Peranan Literasi Informasi Bencana Terhadap Kesiapsiagaan Bencana Masyarakat Jawa Barat”. Jurnal Pendidikan Geografi, Volume 16 No. 2
Juniarto Widodo, ST, MM
Widyaiswara Ahli Madya
Pusdiklat BMKG