Mengapa Anak Gunung Api Krakatau Masih Berbahaya?

Mengapa Anak Gunung Api Krakatau Masih Berbahaya?

Dalam upaya untuk menguatkan edukasi kebencanaan yang berintegritas dengan pembentukan kesadaran publik, sebuah pertanyaan patut diajukan terhadap ukuran bahaya dari peristiwa pilu yang melanda Provinsi Banten pada 22 Desember 2018. Dalam artikel ini, penulis akan membahas seluk-beluk, konflik-resolusi, dan pikiran abstrak yang tertuang untuk upaya edukasi kebencanaan yang terintegrasi terhadap kesadaran publik. Upaya tersebut merupakan pemenuhan kemampuan intelektual dan ketajaman berpikir terhadap popularitas bencana yang melanda Indonesia yang keberadaannya relatif menghantui masyarakat di sekitar wilayah cincin api dan pegunungan aktif Asia-Australia.

Kita akan mengawali artikel ini dengan sebuah abstraksi yang merujuk pada kejadian tsunami 22 Desember 2018 di Provinsi Banten, yang menimbulkan dampak buruk di bagian barat pantai Banten serta bagian selatan pantai Lampung di Indonesia. Survei pasca-tsunami menyimpulkan sebuah data moderat yang dirilis oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di sepanjang pantai Sumatera dan Jawa bahwa kejadian tersebut menghasilkan ketinggian maksimum 13,5 meter dan panjang genangan 330 meter. Kejadian ini mengakibatkan korban jiwa 437 orang, luka-luka 31.942 orang, hilang 10 orang, serta menyebabkan kerusakan terhadap 98 bangunan.

Fakta lainnya menyebutkan kedalaman aliran air yang menghantam pemukiman penduduk di Banten lebih tinggi daripada di Lampung. Berdasarkan analis spektrum wilayah yang didasarkan pada catatan pasang surut oleh Pure and Applied Geophysics, kejadian tsunami ini terjadi selama periode 6,6 sampai 7,4 menit dengan kecepatan arus maksimum 4,37 m/s.

Tsunami pada tahun 2018 tersebut mengingatkan kita pada kejadian bertahun lampau saat kawasan Selat Sunda menjadi daerah eksistensi letusan Gunung Api Krakatau yang menewaskan 36.000 jiwa. Berdasarkan catatan pada katalog tsunami, para ahli geologi menyatakan bahwa peristiwa longsoran di kawasan pantai dan dasar laut juga pernah menjadi penyebab rentetan kejadian tsunami yang terjadi di Selat Sunda setelah tahun 1883.

Garis Waktu Terbentuknya Anak Krakatau

Mulyo (2008) menggambarkan bahwa istilah Gunung Api merujuk pada saluran yang menghubungkan suatu wadah berisi magma yang  ditembakkan, lalu terhimpun di sekitar wilayah tersebut dan kemudian membangun suatu kerucut yang dinamakan kerucut gunung api. Sebagian besar magma naik melalui pipa kepundan. Muntahan lava yang berulang-ulang membentuk sisi gunung yang terjal, mengelilingi pipa kepundan utama.

Perselingan lapisan antara lava dan endapan piroklastik setinggi 315 meter menyusun bentuk kerucut Gunung Api Anak Krakatau. Tak jauh dari lokasi gunung api, terdapat Pulau Rakata, Sertung, dan Panjang, yang tidak berpenghuni, namun menjadi objek menarik bagi peneliti dan tujuan wisata bagi masyarakat. Ketiga pulau tersebut terbentuk dari aktivitas Krakatau Purba, kecuali Pulau Rakata yang tumbuh bersamaan dengan Gunung Api Danan sebelum letusan besar tahun 1883.

Pada periode konstruksi Anak Krakatau tahun 1927, untuk pertama kalinya Gunung Api Krakatau kembali aktif. Setelah melewati ‘masa istirahat’ sejak tahun 1883 sampai dengan tahun 1927, terjadi peristiwa letusan bawah laut pada 29 Desember 1927 yang menyemburkan air laut di dalam kaldera Gunung Krakatau yang menyerupai air mancur.

Pada tahun 1929, Stehn, seorang ahli vulkanologi mengamati terbentuknya satu pulau kecil dari tumpukan material di permukaan laut yang saat ini dikenal sebagai Anak Krakatau, yang hingga tahun 1996, telah meletus setidaknya 80 kali dengan aktivitas erupsi letusan dan erupsi lelehan.

Dalam tulisannya di tahun 2006, Sutawidjaja mengemukakan bahwa pada 1929, Gunung Api Anak Krakatau tumbuh dari kedalaman laut di Pusat Gunung Krakatau dari kedalaman 180 meter dari dasar laut. Ketinggian Anak Krakatau terhitung menjulang hingga 315 meter di atas permukaan laut dan volumenya mencapai 5,52 km3 dengan rata-rata pertumbuhan 4 meter pertahunnya.

Penelitian yang Pernah Ada

Yudhicara dan K. Budiono 2008 menyatakan bahwa tsunami adalah bencana alam yang dapat disebabkan oleh gempa bumi maupun erupsi gunung berapi di bawah laut oleh berbagai sebab seperti longsoran di dasar laut atau di pantai. Tsunami yang terjadi akibat longsoran tanah akibat lelehan magma akan menciptakan aliran piroklastik, yaitu campuran gas vulkanik, abu, dan  bebatuan. Selain itu, reruntuhan bebatuan berpotensi menimbulkan adanya patahan di dasar laut yang menjadi penyebab utama tsunami, termasuk yang terjadi pada tahun 2018.

Tsunami 22 Desember 2018 yang menimpa warga pesisir barat pantai Banten dan pesisir selatan pantai Lampung ini  menimbulkan berbagai dampak dari kerugian materi hingga ratusan orang terpaksa meregang nyawa, diakibatkan oleh letusan gunung Anak Krakatau yang sedang aktif.  Banyaknya korban menjadi perhatian tertentu, dalam beberapa kasus, diungkapkan fakta bahwa orang yang tinggal di sekitar gunung tidak mempersiapkan diri dengan baik untuk menghadapi peristiwa erupsi ini. Ketidaksiapan ini juga disebabkan karena peringatan dini tsunami di Indonesia hanya didesain untuk tsunami yang disebabkan oleh gempa, bukan aktivitas vulkanik.

Pada kejadian tsunami ini, mekanisme pembentukannya secara detail masih belum diketahui, entah karena longsoran masal secara masif atau runtuhan blok-blok batu besar (boulder) – apakah sekali runtuh atau terjadi secara berangsur. Sebuah riset di tahun 2018  yang didokumentasikan dalam makalah yang ditulis T. Giachetti, R. Paris, K. Kelfoun dan B. Ontowirjo berjudul ‘Tsunami hazard related to a flank collapse of Anak Krakatau Volcano, Sunda Strait, Indonesia’ mempertanyakan apa yang terjadi apabila gunung berapi ini runtuh ke laut. Penelitian tersebut menunjukkan proyeksi waktu kedatangan dan amplitudo gelombang yang dihasilkan.

Dalam worst-case-scenario yang dipicu oleh tanah longsor dengan volume reruntuhan sebesar 0,28 km3 (atau setara dengan 270 bangunan Empire State di New York), terdapat perkiraan bahwa seluruh pantai di Selat Sunda terkena gelombang lebih dari 1 km ke arah daratan dalam waktu kurang dari satu jam setelah kejadian. Perhitungan waktu tiba dan amplitudo gelombang yang dihasilkan dari penelitian ini tidak jauh berbeda dari letusan Anak Krakatau 22 Desember 2018, saat tanah yang longsor melibatkan interaksi eksplosif antara magma gunung berapi dan air di sekitarnya.

Sebuah Resolusi dari Para Ahli

Sebagai resolusi dari kejadian ini, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) bekerjasama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta Ikatan Ahli Tsunami Indonesia tengah memasang peralatan tambahan sebagai bagian dari upaya peringatan dini tsunami yang disebabkan oleh aktivitas vulkanik Anak Gunung Api Krakatau. Alat ini akan mengukur ketinggian muka air laut secara terus menerus, dan dipasang di sekitar gunung api. Apabila terjadi tsunami maka alat yang jaraknya paling dekat dengan pusat aktivitas vulkanik akan memberikan peringatan lebih dini.

Selain resolusi yang dilakukan oleh kolaborasi Kementerian, Lembaga dan masyarakat professional tersebut, antisipasi dampak tsunami dapat dilakukan melalui konservasi kawasan pantai melalui upaya struktural, yaitu:

  1. Mengatur ulang tata kota dengan memindahkan pemukiman, industri, dan kawasan vital lainnya ke tempat yang lebih tinggi, serta menghindari pembangunan infrastruktur di tepi pantai,
  2. Memperkuat fondasi dan material penyusun rumah penduduk dengan kekuatan yang memadai,
  3. Membuat penghalang tsunami di daerah pemukiman.

Selain menempuh upaya struktural, upaya nonstruktural dapat dilakukan untuk meredam dampak bencana yang memiliki potensi terulang, yaitu dengan:

  1. Melakukan penyuluhan sosial kepada masyarakat yang berdiam di wilayah rentan bencana secara berkala dan terus-menerus,
  2. Membuat peraturan perundang-undangan yang mendukung seperti undang-undang tata ruang daerah dengan dukungan kajian yang komprehensif,
  3. Memberikan bantuan subsidi pemerintah untuk memotivasi terlaksananya tindakan mitigasi dalam kegiatan pembangunan.

Dari segi keamanan, kesiagaan juga dapat membantu dalam mitigasi bencana alam, meliputi:

  1. Membuat konsep terencana dalam penanggulangan tsunami yang valid dan fleksibel,
  2. Menyediakan sistem peringatan dini dan sistem evakuasi, yang memperhitungkan multifaktor baik prioritas nyawa penduduk, dukungan infrastruktur maupun bahan-bahan pangan,
  3. Mengadakan program simulasi.

Mitigasi yang dibuat sedemikian rupa, sebaiknya merujuk kepada kejadian terburuk yang pernah terjadi, yaitu pada tahun 1883, di mana aktivitas penduduk pantai masih kurang tertata. Evaluasi tata ruang yang dimutakhirkan secara berkala juga akan membantu proses mitigasi bencana alam, apalagi di era teknologi yang berkembangnya sangat cepat seperti sekarang.

Selain cara-cara di atas, kajian risiko serta studi penelitian yang berkorelasi dan relevan dalam skala yang relatif besar terhadap bencana alam gunung api Anak Krakatau ini dapat memberikan umpan balik positif demi keberlangsungan aktivitas masyarakat, eksistensi negara, serta berdampak pada signifikansi perkembangan wisata dan pendidikan di Indonesia.

Penutup

Sebagai gunung api aktif, Gunung Api Anak Krakatau terpantau tumbuh dari kedalaman laut di pusat Gunung Krakatau dari kedalaman 180 meter dari dasar laut, hingga hingga pada tahun 2001 dan volumenya mencapai 5,52 km3 dengan rata-rata pertumbuhan 4 meter per tahunnya. Dalam upaya menguatkan edukasi kebencanaan yang terintegrasi terhadap pembentukan kesadaran publik maka bencana alam seperti kejadian 22 Desember 2018 saat Erupsi Gunung Api Anak Krakatau menyebabkan longsoran dan memicu terjadinya tsunami senyap, wajib dipertanyakan.

Penelitian yang mendemonstrasikan worst-case-scenario yang dipicu oleh tanah longsor dengan volume reruntuhan sebesar 0,28 km3 (atau setara dengan 270 bangunan Empire State di New York), memperkirakan bahwa seluruh pantai di Selat Sunda terkena gelombang lebih dari 1 km ke arah daratan kurang dari satu jam setelah kejadian.  Kajian ini menunjukkan masih siginifkannya potensi bahaya yang diakibatkan oleh aktivitas vulkanik Gunung Api Krakatau sehingga wajib diwaspadai dan dilakukan antisipasi dan mitigasi bencana oleh Pemerintah dan masyarakat.

Sebagai upaya mitigasi, dilakukan peralatan pemantau tambahan sebagai bagian dari sistem peringatan dini tsunami akibat aktivitas vulkanik anak gunung api krakatau, konservasi kawasan pesisir pantai melalui upaya struktural, nonstruktural, serta kesiagaan untuk meminimalisir korban dan kerugian akibat bencana alam tsunami oleh Anak Gunung Krakatau ini. Pemutakhiran evaluasi tata ruang, kajian risiko, dan studi penelitian juga dapat membantu proses mitigasi serta menghasilkan signifikansi perkembangan dari segi wisata dan pendidikan demi terciptanya keamanan dan kenyamanan daerah pantai pesisir Banten dan Lampung, diantaranya dengan merujuk pada timeline yang valid terkait  bencana yang diakibatkan Anak Gunung Krakatau sejak 1883 hingga 2018.

Situs Artikel:

  1. https://link.springer.com/article/10.1007/s00024-019-02358-2
  2. https://nhess.copernicus.org/articles/20/549/2020/nhess-20-549-2020.html
  3. https://kumparan.com/kumparannews/bmkg-pasang-tambahan-alat-peringatan-dini-bencana-di-dekat-gunung-anak-krakatau-1xSv0vFiBIv/full
  4. https://www.geologyin.com/2014/05/a-surtseyan-eruption.html

Jurnal:

  1. https://media.neliti.com/media/publications/195582-ID-mitigasi-kawasan-pantai-selatan-rota-ban.pdf
  2. https://media.neliti.com/media/publications/64239-ID-pertumbuhan-gunung-api-anak-krakatau-set.pdf
  3. https://media.neliti.com/media/publications/66560-ID-tsunamigenik-di-selat-sunda-kajian-terha.pdf
  4. https://media.neliti.com/media/publications/144335-ID-kajian-potensi-tsunami-akibat-gempa-bumi.pdf
  5. file:///C:/Users/user/Downloads/Fenomena_Gunung_Api_Gamalama_Terhadap_Dampak_Alira.pdf
  6. file:///C:/Users/user/Downloads/50609-109014-1-PB.pdf

Chandra Adyanto, SE

Pengelola Diklat
Chandra.adyanto@gmail.com