Indonesia terletak di wilayah tropis yang juga menjadi tempat pertemuan tiga lempeng tektonik, yaitu lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik. Hal tersebut merupakan salah satu alasan mengapa negara kita rawan akan bencana alam. Kata-kata “bencana alam” tentunya sudah sangat akrab di telinga masyarakat Indonesia. Bahkan, peristiwanya pun tak dapat terhindarkan dan tidak pernah abstain menghampiri bumi pertiwi tiap tahunnya. Namun, tak banyak masyarakat memahami terkait “bencana geo-hidrometeorologi”.
Singkatnya, semua jenis bencana geo-hidrometeorologi termasuk ke dalam bencana alam. Namun, tidak semua bencana alam merupakan bencana geo-hidrometeorologi. Secara teori, bencana hidrometeorologi terjadi akibat fenomena cuaca dan iklim yang mempengaruhi serta memicu terjadinya bencana, seperti hujan lebat, angin kencang, banjir, gelombang tinggi, dan lain-lain. Istilah “bencana geo-hidrometeorologi” kerap kali digunakan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dalam mengeluarkan statement tertentu. Penambahan kata “geo” pada istilah “bencana geo-hidrometeorologi” merujuk pada bencana yang terjadi akibat adanya pergerakan lempeng (tektonik), seperti halnya gempabumi, tanah longsor, dan tsunami. Sehingga, maksud dari bencana geo-hidrometeorologi yaitu multi bencana yang terjadi akibat adanya fenomena kebumian, cuaca, maupun iklim ekstrim. Hal tersebut digaungkan oleh BMKG karena termasuk dalam salah satu tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) dari BMKG, yaitu “melaksanakan tugas pemerintahan di bidang Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara dan Geofisika (MKKuG) sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku”.
Bicara mengenai Tupoksi, BMKG telah berupaya untuk memudahkan masyarakat dalam mendapatkan informasi mengenai fenomena MKKuG baik secara langsung maupun daring, terkhusus mengenai bencana geo-hidrometeorologi. Sebagai perwujudan dari pelayanan publik, BMKG menginisiasi adanya kegiatan Sekolah Lapang secara rutin kepada masyarakat yang terdiri dari Sekolah Lapang Cuaca Nelayan (SLCN), Sekolah Lapang Geofisika (SLG), dan Sekolah Lapang Iklim (SLI). Kegiatan tersebut dilaksanakan di beberapa penjuru Indonesia dengan mengundang masyarakat terkait (para nelayan, petani, dan lainnya) untuk dapat berinteraksi secara langsung mengenai masalah yang biasa ditemukan di lapangan kepada para ahlinya di bidang MKG serta aksi mitigasi bencana geo-hidrometeorologi. Namun, kegiatan Sekolah Lapang dengan pertemuan secara langsung tersebut tentunya terlaksana sebelum Covid-19 merajalela.
Bencana Era Pandemi Covid-19
Pada tanggal 9 Maret 2020 World Health Organization (WHO) dengan resmi menyatakan virus corona (Covid-19) sebagai pandemi. Namun, angka kasus positif Covid-19 terdeteksi pertama kali di Indonesia pada tanggal 2 Maret 2020. Kasus positif Covid-19 di Indonesia pun kian bertambah hingga mencapai angka 743.198 dengan angka kematian mencapai 22.138 kasus di akhir tahun 2020 yang lalu. Hal tersebut membuat pemerintah menyatakan secara resmi melalui Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2020 bahwa pandemi Covid-19 merupakan bencana Non-alam Nasional.
Tak hanya di bidang kesehatan, pandemi Covid-19 juga tak khayal membuat kekalutan di berbagai sektor, BMKG pun ikut merasakannya. Berbagai kegiatan dengan audiensi secara langsung terpaksa dihentikan sementara untuk mengurangi kasus positif dari pandemi Covid-19. Tetapi, hal tersebut tidak berlaku bagi eksistensi bencana geo-hidrometeorologi di Indonesia. Selama tahun 2020 hingga 2021, bencana geo-hidrometeorologi masih mendominasi angka kejadian bencana alam di Indonesia. Bencana tersebut berlabuh di Indonesia seolah tak acuh dengan pandemi Covid-19 yang juga turut merenggut banyak korban jiwa. Banjir bandang di Luwu Utara akibat meluapnya Sungai Masamba, banjir hampir di seluruh provinsi Kalimantan dalam waktu yang berbeda, gempabumi di Mamuju dan Majene dengan magnitude 6,2 SR, gempabumi bermagnitudo 7,5 SR yang mengguncang Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan potensi tsunami, serta masih banyak lagi bencana alam lainnya di tengah pandemi.
Hoax Bencana Merajalela
Ketakutan, kepanikan, kecemasan, dan keresahan masyarakat pun semakin menjadi-jadi. Banyaknya gempuran kabar buruk yang terjadi tentunya berdampingan dengan banyaknya berita hoax yang hilir mudik di berbagai media. Hal ini membuat paham masyarakat berada diambang batas trust issues imbas dari berita-berita hoax yang dengan mudahnya merebak dan merasuki akal sehat manusia. Setidaknya dalam kurung waktu 6 bulan dari awal tahun 2020, Kominfo mencatat adanya 850 berita hoax yang beredar, baik mengenai pandemi, bencana geo-hidrometeorologi, hingga hubungan keterkaitannya yang belum bahkan tidak teruji secara ilmiah.
“BMKG Imbau Warga Tinggalkan Mamuju Usai Gempa M 6,2”, “SMS BMKG dan Kominfo Menginformasikan Gempabumi dengan Magnitude 8,5 SR yang Berpotensi Tsunami”, “Fenomena Aphelion Membuat Cuaca Menjadi Lebih Dingin”, “Penyebaran Zat Kimia Dilangit (Seperti Awan) Menjadi Penyebab Covid-19”, dan “Menghirup Uap Panas Dapat Membunuh Covid-19” merupakan beberapa contoh dari berita hoax yang hilir mudik di media daring beberapa waktu ini. Tak jarang media juga ikut membumbui judul informasi yang dikeluarkan BMKG hingga terkesan clickbait dan meresahkan masyarakat. Seperti halnya mengenai potensi tsunami 8 meter di Cilegon yang jelas-jelas hanya “pemetaan” namun didramatisasi menjadi sebuah “prediksi”.
Mitigasi berwujud Literasi
Banyaknya tantangan dan ancaman tersebut membuat BMKG berusaha lebih keras lagi dalam mengupayakan peningkatan kualitas dan kuantitas serta penyebaran informasi terkait MKKuG kepada masyarakat luas. Di era digital yang semakin pesat imbas dari pandemi Covid-19 ini, BMKG memutar otak untuk menggalakkan penyebaran informasi melalui media-media daring, baik secara formal maupun informal. Literasi dapat dengan mudah dan murah diperoleh melalui berbagai situs resmi BMKG dimanapun dan kapanpun.
Adapun situs web resmi BMKG ialah https://www.bmkg.go.id/ yang terbagi lagi menjadi beberapa situs web khusus. Informasi mengenai cuaca terkait peringatan dini, prakiraan, Numerical Weather Prediction (NWP), pengamatan, dan posko dapat diakses melalui http://web.meteo.bmkg.go.id/id/. Terkait cuaca khusus untuk aktivitas maritim (prakiraan cuaca wilayah maritim, peringatan dini gelombang tinggi dan banjir Rob, serta peta statis dan dinamis parameter meteorologi di wilayah maritim) bisa dibuka dari situs web https://maritim.bmkg.go.id/. Khusus untuk cuaca dalam dunia penerbangan (peringatan dini, pengamatan cuaca bandara, dan prakiraannya) dapat dilihat di http://aviation.bmkg.go.id/web/. Adapula informasi Climate Early Warning System (CEWS) di https://cews.bmkg.go.id/home.php yang memberikan informasi terkait informasi iklim ekstrem, potensi energi, dan sistem observasi. Lalu, situs web Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS) di https://inatews.bmkg.go.id/ yang menyebarkan informasi gempabumi terkini dan potensi tsunami. Tidak hanya situs web, masyarakat juga dapat mengunduh aplikasi Info BMKG sebagai sumber utama literasi MKKuG dari BMKG di ponsel pribadi masing-masing melalui Google Play Store atau App Store. Selain itu, BMKG juga sedang mengembangkan aplikasi khusus lainnya seperti “Warning Receiver System (WRS-BMKG)” untuk diseminasi informasi gempabumi dan tsunami di wilayah Indonesia, “BMKG Real-time Earthquakes” yang menyebarkan informasi gempabumi secara langsung di wilayah ASEAN, aplikasi “Pos Hujan Kerjasama BMKG (ePHK BMKG)” yang mendukung operasional pengamatan dan pencatatan data curah hujan di pos hujan kerjasama, “Literasi Iklim” sebagai sarana baca masyarakat yang berisi materi-materi terkait iklim, aplikasi “Sekolah Lapang Iklim BMKG (E-SLI BMKG)” sebagai pengembangan dari SLI offline yang biasanya terlaksana secara langsung sebelum pandemi, ada juga “Sistem Integrasi Data Radar Cuaca Mandiri (Sidarma Mobile)” untuk memantau sebaran awan dan hujan menggunakan radar cuaca BMKG, bahkan aplikasi “Laporan Netizen tentang Cuaca dan Bencana (Lencana BMKG)” untuk mengumpulkan laporan dari netizen terkait cuaca dan bencana secara near-real-time.
Tak hanya itu, BMKG juga mulai memaksimalkan literasi yang mengedukasi masyarakat melalui berbagai media sosial dengan mengikuti tren yang sedang populer. Adapun media sosial resmi dari BMKG ialah @infoBMKG di Twitter, Facebook, Instagram, TikTok, dan juga Youtube. Konten-konten edukasi dibuat semenarik mungkin dengan gaya yang ringan dan mudah dipahami oleh masyarakat luas, terutama warganet dan netizen-nya. Tak hanya itu, ditengah pandemi Covid-19 ini, BMKG juga menggalakkan kegiatan seminar secara daring atau yang biasa disebut Webinar untuk mengedukasi masyarakat dengan membahas beberapa topik khusus. Baru-baru ini, BMKG melaksanakan kegiatan Ekspose Nasional secara daring yang dihadiri oleh Presiden ke-7 Republik Indonesia Bapak Joko Widodo. Kegiatan Ekspose Nasional yang dilaksanakan pada bulan Maret lalu ini membahas topik tentang Monitoring dan Adaptasi Perubahan Iklim 2022. Salah satu poin yang disampaikan oleh Bapak Presiden yaitu perlunya untuk memperhatikan informasi cuaca dan perubahan iklim dengan serius yang diberikan oleh BMKG dan instansi terkait.
Penyokong Informasi MKKuG di Seluruh Indonesia
Perlu diketahui oleh masyarakat luas, kantor BMKG juga tersebar di seluruh penjuru Indonesia yang disebut dengan Unit Pelaksana Teknis (UPT), yang terdiri dari Stasiun Meteorologi, Stasiun Klimatologi, Stasiun Geofisika, dan Stasiun Pemantau Atmosfer Global. UPT BMKG terbagi di beberapa wilayah yang termasuk kedalam Balai Besar Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BBMKG) Wilayah I Medan, BBMKG Wilayah II Ciputat, BBMKG Wilayah III Denpasar, BBMKG Wilayah IV Makassar, dan BBMKG Wilayah V Jayapura. Masing-masing UPT atau Stasiun BMKG pun tentunya memiliki situs web ataupun media sosial tersendiri untuk mendukung pengoptimalisasian diseminasi informasi MKKuG di wilayah yang termasuk tanggung jawabnya.