Saat ini publik terfokus pada penurunan kasus pandemi COVID-19. Sebenarnya ada permasalahan yang sama berbahayanya dengan virus ini yaitu permasalahan Perubahan Iklim yang juga memberikan dampak luas dan menerpa seluruh negara.
Perubahan iklim sudah lama di prediksi oleh para ilmuwan dan pastinya kita tidak dapat mengendalikan laju peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer. GRK seperti H2O, karbondioksida (CO2), nitrogen dioksida (N2O), metana (CH4) merupakan komposisi material atmosfer bumi yang dibutuhkan untuk menjaga suhu bumi tetap stabil. Akan tetapi, konsentrasi GRK terus meningkat akibat aktivitas manusia atau alam yang menyebabkan jumlah panas bumi yang terperangkap di atmosfer bumi semakin banyak, sehingga terjadi pemanasan global yang merupakan penyebab utama dari perubahan iklim.
Berdasarkan Laporan Intergovernmental Panel Climate Change (IPCC) dalam Assessment Report 6 atau AR-6 tahun 2021 menyatakan suhu global telah meningkat mencapai sekitar 1,1°C, lebih panas dari pada kondisi pra industri. Suhu ini diperkirakan akan terus naik mencapai atau melebihi 1,5°C selama 20 tahun ke depan. Tentu saja hal tersebut dapat memicu anomali iklim di dunia, termasuk Indonesia. Pasalnya, negara kita merupakan salah satu negara yang akan menghadapi risiko perubahan iklim hampir di semua aspek kehidupan baik yang langsung maupun tidak langsung. Dampak yang dapat dirasakan misalnya di sektor pertanian dan perkebunan, produksi pertanian di Indonesia akan sangat terpengaruh karena masih sangat bergantung pada kondisi cuaca dan iklim. Dampak selanjutnya yang dapat dirasakan, yaitu peningkatan intensitas dan frekuensi kejadian cuaca ekstrem dan bencana hidrometeorologi, yang tentu saja dapat menurunkan hasil produksi beberapa komoditas. Tentu saja ini akan secara tidak langsung mengancam ketahanan ekonomi nasional di Indonesia.
Meskipun demikian, hingga hari ini masih banyak orang yang menganggap bahwa perubahan iklim tidak begitu penting. Terlihat dari data yang ditampilkan pada statista.com, tahun 2020 negara yang paling banyak penduduknya yang menyangkal perubahan iklim adalah Indonesia, lebih lanjut dituliskan dalam situ tersebut bahwa 21% penduduk Indonesia termasuk penyangkal perubahan iklim, 3% sama sekali tidak percaya perubahan iklim, dan 18% percaya perubahan iklim namun tidak terkait dengan aktivitas manusia.
Indonesia dianggap menjadi salah satu negara dengan tingkat ketidakpedulian terhadap perubahan iklim yang tinggi. Hal tersebut cukup miris, namun tidak menutup kemungkinan adanya ketidaktahuan atau belum terkomunikasikan dengan baik di masyarakat terkait perubahan iklim sehingga perlu mengenalkan perubahan iklim lebih gencar kepada penduduk indonesia. Langka ini sebagai bentuk dukungan komitmen Indonesia untuk mengendalikan perubahan iklim dengan target mengurangi emisi karbon sebesar 29% pada tahun 2030.
Bukti-Bukti Yang Menunjukkan Bahwa Perubahan Iklim Benar-Benar Terjadi Di Indonesia
- Peningkatan suhu permukaan di Indonesia
Peningkatan laju konsentrasi GRK di Indonesia secara tidak langsung berkontribusi dalam meningkatnya suhu bumi. Di Indonesia sendiri, misalnya untuk konsentrasi CO2 berdasarkan data pengamatan 2004 – 2021 dari Stasiun pemantauan GRK Global Atmosphere Watch (GAW) Bukit Kototabang BMKG tercatat terjadi tren peningkatan CO2 meskipun masih berada di bawah nilai rata-rata global1. Data dari 89 stasiun pengamatan BMKG juga mencatat terjadi peningkatan trend penyimpangan suhu rata-rata tahunan di wilayah Indonesia terhadap normalnya (normal suhu udara periode 1981-2010 sebesar 26.6 oC). Kenaikan suhu paling tinggi 0.8°C terjadi pada tahun 2016 yang merupakan tahun terpanas pertama, diikuti tahun 2020 dan 2019 berada di peringkat kedua dan ketiga dengan nilai anomali sebesar 0.7 °C dan 0.6°C.
Sebagai perbandingan, informasi suhu rata-rata global yang dirilis NASA dan NOAA , 2022 juga menempatkan tahun 2016 sebagai tahun terpanas (peringkat pertama) diikuti 2020, 2019, 2017 dan 2015 suhu rata bumi mencapai rekor terpanas.
- Peningkatan suhu lautan
Studi yang dilakukan NASA menyebutkan sebagaimana sifat air atau lautan juga menyerap panas dari atmosfer. Naiknya suhu lautan sebagai bukti terjadinya perubahan iklim yang akan memicu dampak beruntun, pertama semakin meningkatnya potensi mencairnya es di kutub dan akhirnya memicu naiknya tinggi muka laut. Kedua adalah pemutihan karang, karbondioksida yang terserap ke laut memperlambat nutrisi dan terumbu karang berubah menjadi warna putih dan akhirnya akan mati. Terumbu karang merupakan tempat bagi semua makhluk hidup di lautan sehingga beberapa spesies ikan akan punah. Ketiga adalah pengasaman laut, pemutihan karang dapat mengurangi tingkat pengapuran terumbu karang sehingga mengubah kimia air laut melalui penurunan pH. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)7 menyatakan bahwa perubahan iklim disebut sebagai faktor dominan rusaknya terumbu karang di Indonesia, berdasarkan hasil penelitian dan pemantauan yang dilakukan terumbu karang di seluruh Indonesia dalam kategori rusak terus meningkat sebanyak 36,18%.
- Kenaikan tinggi muka laut
Salah satu bukti terjadinya perubahan iklim adalah kenaikan tinggi muka laut, berdasarkan data NOAA tahun 2022 dari data pengukuran satelit altimetri menunjukan tren kenaikan muka air laut di indonesia sejak 1992-2022 rata-rata 4,0+0.4 mm/tahun. Kenaikan permukaan laut berdampak terhadap peningkatan frekuensi banjir pesisir, mundurnya garis pantai, dan hilangnya batas negara yang dapat memicu konflik antar negara. Kenaikan muka air laut dapat menimbulkan gelombang yang lebih besar sehingga mengubah garis pantai akibat erosi dan banjir. Dampak dari erosi inilah yang dapat menenggelamkan sebuah pulau terutama pulau-pulau kecil. Melihat tren peningkatan tinggi muka laut beberapa tahun terakhir ini, dikhawatirkan beberapa pulau kecil di Indonesia akan hilang dalam beberapa tahun yang akan datang.
Fakta lain dari hasil penelitian BRIN yang dimuat di situs kompas.com menunjukkan bahwa selama 1993-2009, luas daratan di Pulau Rondo, yang terletak di ujung barat selat Malaka, Aceh, terus berkurang sebesar 1.856 m2 per tahun. Pulau Sekatung (seluas 1,65 Km2) yang berada di Laut Natuna Utara, Kepulauan Riau, juga mengalami penurunan luasan sebesar 0.66 Km2/tahun. Lalu Pulau Berhala yang terletak di selat Malaka turut mengalami penurunan luasan sebesar 0.002 Km2/tahun. Laut Jawa, Pulau Candikian dan Pulau Gosong di Indramayu, Jawa Barat juga nyaris tenggelam. Kawasan timur Indonesia juga tak lepas dari risiko ini. Seperti di Pulau Workbondi seluas 1,62 km2 di sebelah utara teluk Cenderawasih; Papua, mengalami penurunan luasan 0.004 Km2/tahun.
- Meningkatnya Frekuensi dan Intensitas Curah Hujan Ekstrem
Peningkatan suhu akan memicu terjadinya cuaca ekstrem dan anomali iklim yang semakin sering. Intensitasnya pun semakin kuat dengan durasi yang panjang. Kondisi tersebut tentu akan mengakibatkan kerugian bagi Indonesia. Selama kurun waktu tahun 2011-2021, BNPB mencatat adanya peningkatan tren jumlah bencana hidrometeorologi di Indonesia. Kecenderungan yang sama juga terlihat dari hasil penelitian beberapa peneliti di BMKG yang menemukan tren peningkatan intensitas dan frekuensi curah hujan harian di beberapa wilayah di Indonesia 10,11.
Berdasarkan pengamatan hujan di pulau Jawa (Gambar 5) menunjukan tren perubahan curah hujan tahun 1991-2020 berdasarkan jumlah maksimum curah hujan satu hari dan jumlah hari hujan kategori lebat dengan batas 50 mm/hari cenderung bervariasi namun secara umum mengalami peningkatan terjadi di beberapa wilayah di Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur sedangkan Banten DKI dan Jawa Barat cenderung mengalami penurunan. Perlu diwaspadai perubahan signifikan secara statistik terjadi di Jawa Timur, tren peningkatan signifikan tersebut mengindikasi wilayah tersebut cenderung menjadi lebih basah dan lebih sering terjadi selama 30 tahun terakhir 11. Kecenderungan ini juga diproyeksikan masih akan terus terjadi di wilayah Indonesia, meskipun memiliki ketidakpastian yang lebih tinggi).
Gunung Jaya Wijaya merupakan satu-satunya gunung di Indonesia yang memiliki es pada bagian puncaknya dan terancam punah, karena pembentukan es tidak ada lagi akibat pemanasan global. Penelitian yang dilakukan oleh Permana,et al 12 melaporkan sejak 2010-2018 terjadi penurunan luasan salju pada Puncak Jaya, yang awalnya sekitar 200 km persegi, kini hanya menyisakan 2 km persegi atau tinggal 1 persen saja. Hilangnya es di Jayawijaya juga dipercepat dengan adanya El Nino tahun 2015-2016. Jika terus berlanjut kondisi ini dapat menyebabkan gletser akan hilang di puncak Jayawijaya dalam dekade berikutnya.
Kontribusi Bersama Untuk Perubahan Iklim
Gambaran yang ada sebelumnya membuktikan bahwa perubahan iklim benar-benar terjadi di Indonesia dan dampaknya sudah dirasakan di banyak wilayah. Marilah kita meningkatkan rasa kepedulian dan komitmen terhadap penurunan emisi gas rumah kaca secara masif sebelum semua terlambat. Dibutuhkan upaya, baik pemerintah dan masyarakat untuk mengambil langkah nyata dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Tahun ini Pemerintah kita akan berencana memberlakukan pajak karbon mulai Juli 2022 yang didasari pada batas emisi, yaitu dengan menetapkan nilai ekonomi karbon (NEK). NEK merupakan salah satu instrumen dalam mewujudkan kewajiban Pemerintah dalam kontribusi pengurangan emisi gas rumah kaca menuju ekonomi hijau yang rendah karbon dan ramah lingkungan.
Bagi masyarakat, kontribusi yang bisa diberikan untuk mengurangi dampak perubahan iklim, yaitu:
- Mari lakukan penghematan energi, contohnya dengan menghemat penggunaan Listrik yang dapat membantu mengurangi panas bumi,
- Ayo gunakan kendaraan umum semaksimal mungkin guna mengurangi gas karbon monoksida yang dihasilkan kendaraan bermotor,
- Kampanyekan dan gunakan produk ramah lingkungan dengan melakukan 5R (Rethink, Reduce, Reuse, Recycle, Replace), mengurangi penggunaan kantong plastik, serta mendaur ulang barang,
- Tanam pohon agar kemampuan bumi menyerap karbondioksida bertambah sehingga dapat meredakan kenaikan GRK.
Perubahan iklim akan dapat dihadapi dengan tindakan nyata. Mari segera bertindak. Perubahan iklim merupakan masalah bersama. Lindungi bumi maka kita ikut melindungi kehidupan manusia.
Referensi
- BMKG, 2021. Kondisi Gas Rumah Kaca Indonesia periode Januari 2004 – April 2021. Buletin Gas Rumah Kaca Vol.01 No.01: Jakarta
- IPCC, 2021, IPCC Report : Climate Change 2021”the physical Science Basis” , Available at : https://www.ipcc.ch/ report/ar6/wg1/#SPM
- Kompas, 2021. Akibat Perubahan Iklim, Pulau Kecil sepanjang Aceh-Papua Nyaris Tenggelam. Available at : https://www.kompas.com/sains/read/2021/11/02/120000523/akibat-perubahan-iklim-pulau-kecil-sepanjang-aceh-papua-nyaris-tenggelam?page=all
- NASA dan NOAA , 2022, 10 hottest global years on record. Available at : https://ccimgs-2022.s3.amazonaws.com/20222021GlobalTemps/20222021GlobalTemps_Top10_en_title_lg.jpg
- [NOAA] National Oceanic and Atmospheric Administration. 2022. Laboratory for satellite altimetry/sea level rise.
- Silver Spring: National Oceanic and Atmospheric Administration; Available at : https://www.star.nesdis.noaa.gov/socd/lsa/SeaLevelRise/LSA_SLR_timeseries_regional.php
- Mediaindonesia, 2018. LIPI: Perubahan Iklim Akibatkan Terumbu Karang Rusak. Available at : https://mediaindonesia.com/humaniora/200767/lipi-perubahan-iklim-akibatkan-terumbu-karang-rusak
- Statista, 2020. Climate Change: Where Climate Change Deniers Live. Available at : https://www.statista.com/chart /19449/countries-with-biggest-share-of-climate-change-deniers/.
- Supari, et al.,. Observed changes in extreme temperature and precipitation over Indonesia. International Journal of Climatology, 37(4), pp.1979-1997.
- Siswanto, et al., 2015. Trends in High-Daily Precipitation Events in Jakarta and the Flooding of January 2014. Bulletin of the American Meteorological Society, 96(12), pp.S131-S135
- Supari, et al., A. 2020. Multi-model projections of precipitation extremes in southeast asia based on cordex-southeast asia simulations. Environmental Research 184, 109350.
- Permana, Donaldi S., et al., 2019 Disappearance of the last tropical glaciers in the Western Pacific Warm Pool (Papua, Indonesia) appears imminent. https://www.pnas.org/doi/10.1073/pnas.1822037116
Suci Pratiwi, S.Tr
PMG Muda Sub Bidang Peringatan Dini Iklim
Pusat Informasi Perubahan Iklim