Mengapa Mengeluarkan Uang Bisa Terasa Menyakitkan?
Oleh : Deni Saiful

Secara tidak sengaja saya melihat Tik Tok Rhenald Kasali yang bercerita tentang pengalamannya saat bepergian disuatu tempat wisata dan akan berbelanja dengan membayar pakai uang cash. Saat akan membayar dan menghitung uangnya tiba-tiba ada rasa “pain” atau nyeri, sakit juga ya katanya, capek menghitung uangnya, kemudian sakit mengeluarkannya. Hal inilah yang disebut dengan “The Pain of Paying” dan ini tidak terasa kalau kita membayar menggunakan uang non cash, misalnya pakai QRIS, Kartu Kredit, E-Money dan lain-lain, karena tinggal klik, ketik, gesek dan segala sudah beres tidak ada rasa the pain of paying nya.
Memang tidak bisa kita pungkiri bahwa saat ini dan kedepannya sebagian besar pembayaran menggunakan uang non cash. Kita bisa bayangkan bagaimana anak-anak kita atau para generasi muda saat ini tidak bisa merasakan bagaimana rasanya the pain of paying tidak ada rasa sakit saat mengeluarkan uangnya. Biasanya kalau kita perlu uang cash, kita harus pergi ke ATM terdekat, perlu jalan, naik kendaraan, antri mungkin juga panas kemudian kita menghitung uang yang kita ambil. Kadang-kadang kita berfikir uang yang kita hitung-hitung kita spending (keluarkan/pakai) ga ya, ada perhitungan-perhitungan karena kita merasa pain, tetapi kalau kita tinggal tap begitu mudah, maka kemudian kita pasti akan menjadi lebih konsumtif dan lebih value less karena kita merasa gampang sekali prosesnya.
Tanpa disadari bahwa seharusnya kita perlu menjaga agar bisa spending dengan bijaksana membelanjakan uang kita sesuai kebutuhan. Namun dengan adanya metode atau sistem pembayaran non cash maka membuat kita tidak bisa merasakan yang Namanya The Pain of Paying rasa sakit kita saat membayar lalu kemudian kita menjadi spending lebih banyak. Seharusnya kita mengajarkan kepada generasi penerus kita untuk bisa berhemat agar mampu membeli sesuatu sesuai dengan kebutuhan. Perlu di ingat bahwa dalam banyak kemudahan pembayaran ini tentunya ada efek negatifnya.
Konsep yang disampaikan oleh Rhenald Kasali diperkenalkan pertamakali oleh Dr. Drazen Prelec dan George Loewenstein, dua peneliti dari MIT dan Carnegie Mellon, yang menyatakan bahwa rasa sakit dalam membayar adalah reaksi emosional alami yang memengaruhi cara kita membuat keputusan keuangan.
Mengapa Membayar Itu Menyakitkan?
Secara psikologis, ketika kita membayar, otak kita merespons dengan cara yang mirip seperti ketika mengalami rasa sakit fisik. Penelitian menunjukkan bahwa area otak yang berkaitan dengan rasa sakit seperti insula diaktifkan saat seseorang membayar dengan uang terutama uang cash. Beberapa faktor yang memperkuat rasa sakit saat membayar, antara lain:
I. Transparansi Transaksi
Semakin jelas kita melihat uang keluar (misalnya membayar dengan uang cash), semakin besar rasa sakitnya. Ini berbeda dengan membayar secara digital atau menggunakan kartu, yang cenderung terasa “tidak nyata”.
II. Waktu antara Pembayaran dan Konsumsi
Jika kita membayar sebelum atau jauh setelah menikmati produk, rasa sakitnya lebih kecil. Misalnya, saat membeli tiket konser yang akan berlangsung bulan depan, kita tidak merasakan “sakit” saat menikmati konser karena sudah lama membayarnya.
III. Persepsi Nilai
Jika harga dianggap tidak sebanding dengan manfaat yang kita terima, rasa sakit saat membayar akan meningkat. Sebaliknya, jika nilai yang kita terima terasa lebih besar, rasa sakit bisa berkurang atau bahkan hilang.
Bagaimana Perusahaan Memanipulasi Rasa Sakit Ini
Bisnis modern memahami konsep ini dan banyak yang mencoba mengurangi rasa sakit saat membayar agar konsumen lebih mudah membeli, seperti:
- Menggunakan sistem “cashless” atau dompet digital
- Sistem “tap” dan “scan” tanpa uang fisik
- Menawarkan “bayar nanti” (buy now, pay later)
- Menyembunyikan biaya (seperti biaya layanan tersembunyi di akhir pembelian)
- Langganan otomatis (auto-debit)
- Memberikan diskon atau cashback sebagai pengalih perhatian
Semua strategi ini bertujuan untuk membuat transaksi terasa ringan dan “tidak menyakitkan”.
Dampaknya terhadap Keuangan Pribadi
Ketika membayar tidak lagi terasa menyakitkan, kita cenderung:
- Membeli lebih banyak dari yang dibutuhkan
- Lebih impulsif dalam pengeluaran
- Kehilangan kontrol terhadap anggaran pribadi
Ini bisa menyebabkan krisis keuangan pribadi, penyesalan, bahkan terjebak hutang. Ironisnya, kenyamanan dalam membayar justru bisa menjebak kita dalam ketidaknyamanan jangka panjang.
Walaupun teknologi memudahkan, menghilangkan rasa sakit saat membayar bisa berdampak negatif jika tidak disertai kesadaran finansial. Tanpa rasa sakit itu, kita lebih mudah tergoda membeli hal yang tidak diperlukan, sehingga menimbulkan penyesalan dan bahkan hutang.
Karena itu, rasa tidak nyaman saat membayar bukanlah hal buruk. Justru bisa menjadi sistem alarm alami agar kita berpikir ulang sebelum mengeluarkan uang.
Tips Mengelola “The Pain of Paying” secara Bijak
- Gunakan Uang Tunai untuk Pengeluaran Rutin
Membayar dengan uang fisik membuat kita lebih “merasakan” uang yang keluar, sehingga membantu menahan diri dari pembelian impulsif. Uang tunai menciptakan kesadaran lebih tinggi dibanding kartu atau dompet digital
- Cek dan Catat Semua Pengeluaran
Jangan biarkan transaksi digital membuat kita lupa sudah berapa banyak yang dikeluarkan. Gunakan aplikasi pencatat keuangan atau spreadsheet sederhana untuk memantau pengeluaran harian dan bulanan.
- Tunda Pembelian Selama 24 Jam
Jika kita ingin membeli sesuatu yang tidak mendesak, beri jeda satu hari. Ini memberi ruang untuk berpikir secara rasional dan menghindari pembelian karena dorongan sesaat.
- Tetapkan Batas Pengeluaran per Kategori
Buat anggaran khusus untuk kebutuhan seperti makan, hiburan, transportasi, dan lain-lain. Ini membantu Anda tetap dalam kendali dan mencegah rasa bersalah setelah membayar.
- Gunakan Sistem Amplop atau Dompet Virtual Terkelola
Baik fisik maupun digital, pisahkan uang berdasarkan kebutuhan. Misalnya, satu amplop (atau dompet digital) untuk makan, satu lagi untuk hiburan. Saat satu kategori habis, Anda harus berhenti belanja di kategori itu.
- Sadari Trik Psikologis Penjual dan Aplikasi
Diskon terbatas, gratis ongkir, atau sistem “bayar nanti” dirancang untuk menumpulkan rasa sakit saat membayar. Waspadai teknik pemasaran ini agar tidak terjebak.
- Bayar Sebelum Menikmati (Jika Bisa)
Membayar lebih awal membantu mengurangi rasa sakit saat mengonsumsi. Misalnya, bayar tiket konser jauh hari, sehingga saat hari H Anda bisa menikmati tanpa beban pikiran.
Refleksi Setelah Membayar
- Tanyakan pada diri sendiri setelah membeli:
“Apakah ini sepadan dengan uang yang saya keluarkan?”
Latihan ini melatih kesadaran dan membantu memperbaiki keputusan keuangan ke depan.
- Tunda pembelian besar untuk memberi waktu mengevaluasi keputusan.
- Catat pengeluaran untuk memvisualisasikan uang yang keluar.
- Tetapkan anggaran tetap dan patuhi batasannya.
- Sadari trik psikologis dalam iklan dan sistem pembayaran modern.
Dengan mengelola The Pain of Paying secara bijak, kita tidak hanya menjaga kondisi dompet, tapi juga melatih disiplin, kesadaran, dan keseimbangan emosional dalam mengelola keuangan.
“The Pain of Paying” bukan sekadar emosi negatif, tapi sinyal penting dari otak untuk menjaga kesehatan keuangan kita. Dengan memahaminya, kita bisa mengambil keputusan finansial dengan lebih bijak, menyeimbangkan antara kepuasan saat membeli dan ketenangan setelahnya.
Daftar Pustaka
Prelec, D., & Loewenstein, G. (1998). The Red and the Black: Mental Accounting of Savings and Debt. Marketing Science, 17(1), 4–28.
TikTok Renald Kasali : https://www.tiktok.com/@rhenaldkasali/video/7519995874420722962