Kita kerap mendengar julukan ‘supermarket bencana’ dilekatkan pada Indonesia karena tingkat kebencanaannya yang relatif tinggi. Ibarat toserba yang lengkap menyediakan beragam barang dagangan, negeri kita mengalami hampir seluruh jenis bencana. Catatan Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) mengungkap bahwa 2.723 kejadian bencana geohidrometeorologi telah terjadi sepanjang tahun 2021 1.
Deretan bencana yang didominasi oleh banjir, cuaca ekstrem, dan tanah longsor ini berdampak kerugian yang signifikan, baik material maupun jiwa. Tercatat 7.806.192 orang masyarakat menderita dan mengungsi, 13.199 orang mengalami luka-luka, 83 orang dinyatakan hilang, dan 607 orang meninggal dunia.
Posisi Perempuan dalam Kebencanaan
Pada satu kesempatan wawancara dengan media daring Tirto Id, Direktur Pemberdayaan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Lilik Kurniawan, mengungkap bahwa 60 hingga 70 persen korban bencana yang ada di Indonesia adalah perempuan, anak-anak, dan lansia 2. Fakta ini selaras dengan catatan UNDP tentang data korban dari beberapa bencana besar. Pada kejadian gempa bumi dan tsunami Aceh tahun 2004, tercatat 70% dari perempuan di beberapa wilayah di Aceh meninggal dunia. Setahun sebelumnya, saat gelombang panas melanda Eropa, korban meninggal dunia didominasi oleh perempuan, terutama yang berusia lanjut. Catatan tentang badai Katrina di New Orleans juga menunjukkan sebagian besar korban adalah perempuan dan anak-anak.
Dalam dokumen Gender and Disaster Risk Reduction yang dipublikasikan tahun 2013, UNDP menyatakan bahwa perempuan dan anak-anak memiliki kemungkinan menjadi korban jiwa 14 kali lebih tinggi daripada laki-laki3. Dokumen tersebut menguatkan fakta di tingkat global bahwa perspektif gender dalam isu penanggulangan perubahan iklim dan kebencanaan telah memiliki pondasi yang kuat, terutama sejak Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP) ke-20 pada tahun 2014. Berbagai kajian mengemukakan dua posisi perempuan pada saat bencana. Phumzile Mlambo-Ngcuka, Direktur Eksekutif UN Women dalam sesi COP21 Talk seperti dilaporkan dalam reportase Lifegate pada tahun 2015 menyatakan bahwa perempuan dengan segala potensi fitrah serta kekuatan alamiah dalam perspektif gender tidak saja dipandang sebagai pihak yang rentan menjadi korban, tetapi dianggap memiliki potensi dan kapasitas untuk menjadi pelaku aktif bagi pengurangan dampak bencana. 4
Posisi pertama meninjau keberadaan perempuan sebagai obyek dari upaya mitigasi bencana. Perempuan dipandang rawan menjadi korban karena keterbatasan kendali terutama pada akses dan distribusi sumber daya lingkungan 5. Lemahnya pelibatan perempuan dalam berbagai pengambilan keputusan, membuat kerentanan ini semakin tinggi. Selain itu, status ekonomi dan sosial perempuan juga menambah risiko kehilangan nyawa saat terjadi bencana terutama terkait akses terhadap informasi maupun kondisi ekonomi yang kurang menguntungkan. Kerentanan perempuan dan anak-anak juga terjadi pasca evakuasi. Ketika mereka berada dalam posko pengungsian, akses terhadap kebutuhan harian ekstra dan spesifik sering tidak terpenuhi, misalnya bagi perempuan hamil dan menyusui. Kondisi stres yang berlebih pascabencana, membuat tekanan pada tiap anggota keluarga, ditengarai juga membuat rawan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
Pada posisi kedua, memandang perempuan dari sisi yang berbeda. Perempuan dengan segala potensinya juga memiliki sisi pemberdayaan yang positif. Alih-alih menjadi korban, dalam berbagai kejadian bencana maupun saat pemulihan, perempuan tampil menjadi pelaku dan kontributor aktif dalam melakukan aksi tanggap darurat. Keberadaan perempuan dapat diarahkan untuk membantu peningkatan budaya sadar bencana dan mendorong terbentukya masyarakat tangguh bencana jika kerentanan mereka bisa ditangani dengan baik. Secara nasional, fakta tersebut tampak berpengaruh pada berbagai penyempurnaan kebijakan Pemerintah Indonesia dalam bidang perubahan iklim maupun mitigasi bencana geohidrometeorologi yang berbasis gender.6
Peran Dharma Wanita BMKG dalam Literasi MKG sebagai bagian dari Upaya Tanggap Bencana
Sebagai instansi yang bertugas pada sektor cuaca, iklim, kegempaan dan tsunami, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) berperan signifikan dalam upaya pengurangan risiko bencana geohidrometeorologi, utamanya dalam memproduksi dan melakukan diseminasi informasi terkait. Tidak mengherankan literasi kebencanaan juga melekat pada pegawai BMKG, termasuk keluarganya. Hal ini menjadi keuntungan tersendiri dalam penguatan ketahanan bencana. Hasil wawancara kepada anggota Dharma Wanita Persatuan (DWP) BMKG, yang menjadi korban bencana gempa bumi dan tsunami di Palu (2018) serta gempa bumi di Lombok (2018) mengungkap fakta bahwa perempuan yang memiliki literasi MKG memadai mampu berperan lebih aktif dan berdaya dalam mitigasi bencana dan peningkatan ketahanan keluarga dan masyarakat di sekitarnya.
Fakta di atas mendukung pernyataan mengenai potensi perempuan untuk berperan di seluruh proses kegiatan tanggap bencana maupun pengurangan risikonya. Karakter, keterampilan, dan pengalaman unik perempuan merupakan modal yang sangat berharga dan dapat mendukung mitigasi dan antisipasi pengurangan bencana. Di wilayah Asia dan Pasifik, perempuan mampu tampil memimpin dan menggerakkan potensi dalam komunitasnya pada saat menghadapi berbagai bencana. Mereka menjadi agen utama gerakan perubahan budaya dan peningkatan kesiapan komunitas tanggap bencana. Perempuan dapat berperan dalam meningkatkan kesadaran untuk memahami lingkungan, kerentanan dan ancaman bahaya, menilai risiko, mengukur kapasitas pribadi, anggota keluarga, dan masyarakat di sekitarnya, serta merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi keberlanjutan upaya pengurangan risiko bencana.
Para perempuan perlu dilengkapi dengan kompetensi kebencanaan yang memadai agar bisa berperan dalam kegiatan-kegiatan tanggap bencana, misalnya melalui edukasi dan penguatan literasi kebencanaan. Upaya ini dapat dilakukan secara individual maupun kolektif melalui komunitas-komunitas yang telah ada, seperti Dharma Wanita Persatuan (DWP) BMKG.
DWP adalah salah satu organisasi istri ASN yang potensial dalam mengakselerasi berbagai bidang literasi Mengingat anggotanya adalah istri para pegawai BMKG yang sehari-hari bertugas di bidang pengelolaan informasi cuaca, iklim, kegempaan, dan tsunami, DWP BMKG menjadi salah satu unit yang paling dekat dengan proses bisnis MKG,
Terinspirasi pada berbagai kejadian bencana yang melibatkan anggota DWP, sepanjang 2018, maka dilakukan perlu penguatan peran dan pengalaman DWP BMKG dalam merespon bencana geohidrometeorologi. Hal ini bisa dilakukan melalui implementasi program dan kegiatan pada Bidang Pendidikan dan Bidang Sosial Budaya, seperti tertuang dalam AD/ART DWP Nasional 7
Pada bagian hulu, melalui kegiatan pada Bidang Pendidikan, para anggota DWP BMKG mendapatkan pembekalan literasi kebencanaan. Sosialisasi mengenai kejadian cuaca, iklim, gempa bumi, dan tsunami disampaikan oleh para pakar MKG dalam pertemuan rutin bulanan. Dengan teknologi informasi dan komunikasi, kegiatan pembekalan tersebut bisa dilakukan melalui webinar sehingga bisa menjangkau lebih anggota di seluruh pelosok negeri. Ibu-ibu anggota DWP BMKG dapat berpartisipasi pada kegiatan ini dari tempatnya mendampingi suami. Peserta secara aktif bertanya, berdiskusi, dan merefleksikan pengetahuan yang diperoleh dengan pengalaman mereka dalam penanganan bencana di wilayahnya,
Di bagian hilir, pasca kejadian bencana, melalui program pada Bidang Sosial dan Budaya, para ibu giat mengumpulkan donasi untuk membantu meringankan beban anggota DWP BMKG maupun masyarakat di sekitarnya yang menjadi korban bencana. Dilandasi rasa empati, kunjungan silaturahmi ke wilayah terdampak dilakukan untuk memberikan motivasi, semangat, serta dukungan moral bagi para korban. Bahkan, pada beberapa kejadian bencana yang sangat destruktif dan memporakporandakan sendi ketahanan keluarga bantuan berkelanjutan juga diberikan dalam bentuk program bantuan pendidikan dan anak asuh.
DWP BMKG mengadakan penguatan literasi MKG pada anggota melalui berbagai kegiatan, baik rutin maupun insidentil. Pertemuan rutin bulanan pada Agustus, September, Oktober November 2021 menjadi ajang sosialisasi dan edukasi anggota tentang substansi MKG. Partisipasi anggota DWP BMKG yang diketahui melalui data kehadiran dan hasil pengamatan pada saat kegiatan berlangsung menunjukkan minat anggota terhadap kegiatan ini.
Gambar 2. Partisipasi Anggota DWP BMKG dalam Webinar Terkait Bencana 2021 – 2022 (sumber: DWP, 2022)
Dari kuesioner yang diisi, diketahui bahwa para anggota DWP BMKG berminat untuk menyebarkan pengetahuan yang diperoleh kepada lingkungan. Dengan asumsi jumlah anggota DWP BMKG di seluruh Indonesia saat ini mencapai 2000-an, keterlibatan mereka sangat mungkin ditingkatkan. Dengan demikian, mereka dapat menjadi mitra strategis BMKG dalam penguatan literasi kebencanaan di seluruh Indonesia. Upaya peningkatan kapasitas anggota DWP BMKG dalam literasi MKG perlu terus-menerus dilakukan untuk mendukung budaya sadar bencana dan meningkatkan peluang pemberdayaan lebih lanjut.
Partisipasi anggota DWP BMKG dalam kegiatan literasi MKG dapat menjadi bagian dari upaya peningkatan kapasitas keluarga, lingkungan, dan masyarakat sekaligus bentuk kontribusi nyata mereka pada pembangunan nasional, khususnya dalam penanganan bencana geohidrometeorologi. Sebagai manajer keluarga sekaligus anggota komunitas dan masyarakat, anggota DWP BMKG harus berperan dalam mengedukasi dan mentransfer pengetahuan terkait perubahan iklim dan bencana geohidrometeorologi secara dini kepada keluarga dan lingkungannya.