Komunikasi Publik, Jendela Pemahaman Bencana Akibat Cuaca

Komunikasi Publik, Jendela Pemahaman Bencana Akibat Cuaca

Akhir-akhir ini, kita sering membaca di surat kabar ataupun menyaksikan di TV banyak terjadi bencana alam banjir, longsor, angin puting beliung, bahkan hujan es. Baru saja pada awal bulan Maret yang lalu dilaporkan kejadian banjir yang mengakibatkan 1500 rumah penduduk terendam air di Serang, Banten.

Banjir biasanya diakibatkan oleh curah hujan yang lebat dan tidak biasanya terjadi pada bulan Maret. Ironisnya dilaporkan pula banjir tersebut sampai menelan tiga orang korban meninggal dunia. Konfirmasi selanjutnya dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), instansi yang bertanggung jawab mengeluarkan informasi cuaca mengungkap bahwa hujan yang turun pada hari kejadian banjir termasuk kriteria sedang sampai lebat, tetapi berdurasi lama atau terus-menerus.

Lebih lanjut disebutkan bahwa lembaga ini sudah mengeluarkan peringatan dini cuaca melalui unggahan di Instagram @infobmkg. Prediksi hujan lebat juga sudah disampaikan melalui media Whatsapp, facebook, dan twitter ke kantor-kantor pemerintah daerah.  Pertanyaannya, mengapa pada berbagai kejadian bencana alam termasuk banjir Serang masih saja menimbulkan kerugian harta, bahkan korban nyawa?

Keprihatinan atas jatuhnya korban jiwa maupun harta setiap kali terjadi bencana di negeri ini semestinya bukan hanya menjadi urusan pemerintah semata, tetapi mampu menggelitik nurani kita sebagai anak bangsa guna memikirkan nurani kita sebagai anak bangsa guna memikirkan konkrit untuk meminimalisir korban bencana.

Beberapa Kemungkinan Penyebab Bencana Masih Menelan Korban

Kenyataan bahwa masyarakat tidak mendapat akses informasi tentang peringatan banjir bandang sehingga setiap bencana yang diakibatkan cuaca masih menelan korban mengajak kita menduga-duga adanya beberapa kemungkinan penyebabnya.

Sesuai dengan tugas fungsinya, BMKG memiliki tugas untuk melakukan prakiraan cuaca jangka pendek (harian hingga 1 minggu ke depan) dan peringatan dini cuaca ekstrim. Dalam pelaksanaan tugasnya tersebut dilakukan upaya untuk meningkatkan kapasitas SDM nya guna meningkatkan tingkat akurasi prakiraannya. Sesuai pengaturan alur informasi yang berlaku, produk peringatan dini cuaca yang dibuat disampaikan secara formal dan periodik ke pihak-pihak terkait antara lain Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB), Kementerian Lingkungan Hidup & Kehutanan, Kementerian Perhubungan, Pemda untuk diteruskan ke masyarakat yang berpotensi terdampak dan ditindaklanjuti di lapangan. Disamping itu informasi tersebut disebarluaskan melalui media social website, aplikasi mobile, twitter, facebook dan Instagram.

Kendala kurang efektifnya informasi yang disampaikan sehingga masih ada korban bencana yang terjadi akibat cuaca ekstrim, dimungkinkan terjadi karena terlambatnya penerimaan informasi peringatan dini BMKG merupakan penyebab pertama masih jatuhnya korban akibat bencana.

Penyebab kedua adalah kesulitan memahami informasi dan dampak bencana.  Dalam kaitan ini produk informasi BMKG yang disampaikan ke masyarakat dalam bentuk grafik atau peta mungkin dianggap terlalu teknis dan sulit dimengerti oleh masyarakat awam pada umumnya.  Disamping itu lapisan masyarakat tertentu tidak menyadari tentang bahaya yang dapat ditimbulkan oleh bencana hidrometeorologi sehingga mereka merasa aman-aman saja, tidak pernah merasa terancam oleh bencana alam yang ditimbulkan oleh cuaca ekstrim.  Bencana hidrometeorologi seperti banjir dan tanah longsor merupakan bencana yang diakibatkan parameter-parameter meteorologi, seperti curah hujan, kelembapan, temperatur, dan angin. (BNPB, 2021).

Penyebab ketiga adalah fakta bahwa masyarakat bersikap abai, sebagian besar merasa sudah terbiasa mengalami peristiwa bencana yang sama atau berulang sehingga mereka tidak terlalu memperhatikan kabar dini yang disampaikan dalam bentuk dan melalui media apa pun. Lihat saja penduduk yang tinggal di bantaran kali Ciliwung Jakarta yang menamakan daerahnya sebagai “daerah langganan banjir”.

Ketiga penyebab tersebut sangat mungkin merupakan akar masalah mengapa masih banyak korban yang jatuh setiap kali terjadi bencana alam yang ditimbulkan oleh anomali cuaca atau yang disebut bencana hidrometeorologi.

Lebih Dekat dengan Sekolah Lapang Cuaca

Sekolah Lapang Cuaca merupakan bentuk sosialisasi yang dilaksanakan BMKG guna mengundang partisipasi masyarakat untuk memahami bentuk-bentuk informasi yang dikeluarkan supaya masyarakat lebih ‘sadar dan siap siaga’ terhadap potensi bencana hidrometeorologi yang mungkin terjadi. Dinamakan “sekolah lapang” karena materinya lebih banyak praktik, simulasi, dan diskusi ketimbang belajar dalam kelas bak sekolah pada umumnya, Sesi-sesi permainan seperti Kahoot, Quizizz dan Padlet biasanya paling digemari peserta dan dapat dengan cepat mencairkan suasana belajar.

Falsafah atau prinsip dari penyelenggaraan Sekolah Lapang Cuaca adalah menerjemahkan istilah-istilah teknis meteorologi ke dalam bahasa lapangan sehari-hari yang mudah dimengerti oleh masyarakat, dalam hal ini siswa Sekolah Lapang.

Gambar 1 menunjukkan bagaimana peta prakiraan tinggi gelombang laut dikomunikasikan untuk keperluan para nelayan, baik untuk keselamatan pelayaran mereka maupun untuk meningkatkan produktivitas tangkapan ikan. Pesan yang tersirat dalam gambar ini adalah perlunya menyederhanakan dan mengomunikasikan bahasa teknis ke dalam bahasa sehari-hari yang digunakan para nelayan di lapangan.

Melalui media sekolah lapang ini tercipta hubungan kemitraan dan komunikasi dengan pihak-pihak Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), tokoh masyarakat, dan para pegiat/ relawan bencana. Di sini dituntut kepiawaian para fasilitator untuk menyampaikan dan membagikan pengetahuannya secara komunikatif, ramah, dan menyenangkan. Alumni sejumlah sekolah lapang yang telah diselenggarakan diharapkan dapat menularkan ilmunya kepada anggota keluarga, kerabat, dan teman-teman mereka. Dengan demikian harapan kita ke depan akan lebih banyak orang yang paham akan gejala-gejala cuaca dan bagaimana menyikapinya sebelum terjadi bencana. Bagaimana pun mencegah lebih baik dari pada mengobati.

Prinsip pembelajaran dalam sekolah lapang didasarkan pada kemitraan dan komunikasi antar BMKG sebagai penyedia informasi dengan instansi terkait seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, BNPB, Satkorlak bencana, serta Pemerintah Daerah yang merupakan pengampu kepentingan. Proses belajar ini merupakan siklus yang terdiri dari tahap mengamati, menganalisis, mengalami, mengambil keputusan, serta mengevaluasi atau umpan balik. Pada Sekolah Lapang Iklim Pertanian misalnya, para petani belajar melalui proses diskusi dan pengalaman diri untuk dapat membuat keputusan bersama kapan mulai menanam dan varietas tanaman apa yang cocok untuk ditanam sesuai dengan hasil pengamatan mereka terhadap kondisi cuaca yang sedang berlangsung.

Penerapan Komunikasi Publik dalam ToT (Training of Trainers) Sekolah Lapang Cuaca

Masyarakat Indonesia memiliki budaya dan kebiasaan yang melekat yang biasanya disebut “kearifan lokal”. Hampir tiap daerah memiliki kearifan lokal nya sendiri-sendiri. Target akhir peserta Sekolah Lapang cuaca, iklim dan gempa yang pada umumnya terdiri dari kaum nelayan, petani, dan mereka yang tinggal di daerah rawan bencana. Dalam praktiknya kearifan lokal tersebut acapkali menjadi tradisi turun temurun dan muncul dalam bentuk pesan dan teknik penyampaian pesan. Lebih lanjut budaya yang tercipta melalui praktik kearifan lokal ini, dibarengi latar belakang dan karakter seseorang membuat suatu komunikasi sistemik. Sebagaimana dikutip Kriyantono bahwa untuk memahami komunikasi, kita harus mempertimbangkan sistem lingkungannya.

Untuk menciptakan suatu komunikasi yang efektif, orang yang menyampaikan pesan (disebut komunikator) seyogyanya mengenal komunikan atau publik yang akan menjadi target penerima pesannya. Komunikan tentu saja berasal dari masyarakat tertentu dengan latar belakang sifat dan kearifan lokal tersendiri. Dalam komunikasi efektif, terdapat upaya Sang komunikator memahami latar belakang dan karakter komunikannya. Berbagai tulisan terdahulu menyebutkan bahwa seorang praktisi komunikasi publik haruslah seorang yang memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik, pandai dan cepat memahami situasi sekitarnya serta berpenampilan menarik.

Dalam kelas pelatihan ToT (Training of Trainers) yang pesertanya adalah instruktur sekolah lapang, beberapa sudah sangat berpengalaman dan kental dengan kearifan lokal, selebihnya ada pula para peserta   belia yang hidup di lingkungan budaya dan kearifan lokal yang lekat. Selain materi terkait meteorologi dan kebencanaan, diajarkan pula materi Pembelajaran Orang Dewasa dan Komunikasi Efektif.  Kedua pokok materi ini penting untuk membekali para trainers menghadapi kelas awam, yang pesertanya bisa saja berusia lebih senior dan lebih berpengalaman dari pengajarnya. Guna mengukur keberhasilan pelatihan ToT pada akhir pelatihan dilakukan semacam evaluasi dengan praktik simulasi mengajar (micro teaching) serta pemberian umpan balik.

Sementara instansi pemerintah resmi seperti BMKG dan BNPB terus berbenah diri untuk meningkatkan layanannya, upaya pemberdayaan masyarakat semacam Sekolah Lapang Cuaca niscaya akan menambah pengetahuan masyarakat dan pada gilirannya meningkatkan kesiapsiagaan terhadap bencana hidrometeorologi.

Penutup

Komunikasi dengan para alumni sekolah lapang perlu tetap dijaga agar selalu tercipta tali komunikasi yang akan selalu mengingatkan semua pihak untuk siaga terhadap bencana. Semoga kedepannya tidak ada lagi korban jatuh akibat bencana di negeri tercinta ini. Zero victim atau nihil korban merupakan target bersama pemerintah dan masyarakat Indonesia sadar bencana.

Referensi

  1. BMKG. “Modul Sekolah Lapang Nelayan” Publikasi internal, 2014.
  2. Daryono, 2022 “FAKTA Banjir di Serang Banten, Lima Orang Meninggal hingga Terjadi di 43 Titik” Tribun News, 2 Maret 2022, dilihat 14 Maret 2022. <https://www.tribunnews.com/regional/2022/03/02/> .
  3. Faisal A. 2021. “100 nelayan di Cilincing ikut Sekolah Lapang Cuaca Perairan” Antara News, 2 November 2021, dilihat 14 Maret 2022.  https://www.antaranews.com.
  4. Kriyantono, R. (2017a). “Do the different terms affect the roles? A case study of excellent public relations practices in Indonesia” International Journal of Applied Business & Economic Research, 15(6), 193-209.
  5. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana.

Nurhayati

Widyaiswara Ahli Utama
Pusdiklat BMKG